Pendam
IX/Udayana
Selasa,
8 Mei 2018
Komandan Korem 161/Wira Sakti Kupang Brigjend TNI Teguh
Muji Angkasa mengatakan TNI dan Pemerintah Indonesia terus melakukan langkah
konkret menyelesaikan batas negara di segmen Noelbes-Citrana, terutama di
wilayah Naktuka dekat Kecamatan Amfoan Timur, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang selama ini telah menjadi wilayah status quo.
Wilayah status qou di Naktuka yang sesuai dengan regulasi tidak boleh
dibangun sarana apapun oleh dua negara Indonesia dan Timor Leste, malah sudah
dilanggar.
"Pemerintah Timor Leste bahkan sudah membangun
sejumlah fasilitas di Naktuka antara lain fasilitas pertanian dan lainnya,
padahal sesuai perjanjian 1904 hal itu tidak dibolehkan. Ini kan akan memicu
konflik," kata Brigjen Teguh kepada wartawan sebelum pelaksanaan Focus
Group Discussion di Kupang, Senin (7/5).
Selain membangun sejumlah fasilitas di Naktuka sebagai wilayah status
quo, Pemerintah Timor Leste juga memfasilitasi kehidupan 69 kepala keluarga
(KK) di wilayah yang jaraknya sekitar 1 km dari Kecamatan Amfoan iu dengan identitas
kependudukan aliss KTP Negara Timor Leste.
"Juga setiap tiga bulan setiap kepala keluarga di Naktuka itu
mendapat biaya Rp1.800.000," katanya.
Menurut Danrem semua yang dilakukan oleh Pemerintah Timor Leste kepada
warga di Naktuka wilayah status quo itu secara de facto dan de jure sudah
berada di posisi atas angin. "Pemerintah Timor Leste dalam hal ini sudah
menang satu langkah meskipun trlah melanggarbTraktat 1904 yang ditandatangani
oleh Pemerintah Belanda dan Portigis waktu itu," katanya.
Dalam konteks itu, TNI sudah melakukan sejumlah labgkah untuk
penyelesaian perbatasan dengan langkah diplomasi untuk tetap menjaga kedamaian
di perbatasan. Untuk pelanggaran pembangunan di wilayah status qup, pihak TNI
kata dia sudah mengajukan keberatan ke Timor Leste namun tak pernah diambil
peduli.
"Ini kan akan sangat memantik konflik dan tentu tidak kita
inginkan. Bagaimanapun penduduk di sana (Naktuka) masih memiliki hubungan darah
dan kerabat baik dengan warga Indonesia di Amfoan maupun dengan penduduk Timor
Leste di Ambeno," katanya.
Karena itu TNI lalu merancang kegiatan FGD yang melibatkan kaum
akademisi dari berbagai bidang untuk membahas penyelesaian yang lebih baik dan
damai. FGD ini juga kata Danrem sebagai tindak lanjut dari kesepakatan para
raja dua negara di perbatasan yang dilakukan dalam pertemuan 11 November 2017
silam yang melibatkan 'Liurai Sila, Sonbai Sila, Benu Sila, Afo Sila'
demirekonsiliasi di perbatasan.
"Kami sangat berharap agar FGD ini bisa menjadi salah satu dasar
ilmiah bagi penyelesaian batas dua negara dengan tetap menghargai segala bentuk
kebiasaan adat warga di batas negara yang ada," katanya.
Sementara itu Rektor Universitas Negeri Nusa Cendana
(Undana) Kupang Pro. Ir. Fredrik L Benu, M.Si, PhD, dalam sambutan pembuka
mengatakan bicara tentang perbatasan negara untuk Indonesia Timor Leste, harus
dikesampingkan hukum atau norma formalnya.
"Kita abaikan dulu hukum formalnya. Mari kita lakukan pendekatan
bidaya dan adat dengan tetap menghargai ulayat masing-masing daerah,"
katanya.
Artinya ketika bicara soal batas negara
secara formal, maka ikut juga dibicarakan tentang hak ulayat masing-masing
daerah. Dengan demikian maka akan memberi satu titik gambaran penyelesaian
tapal batas yang lebih damai dan berkeadilan. (Penrem 161/WS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar